Siberasi.id – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengimbau agar jemaah haji menyesuaikan aktivitas ibadah sunah. Penyesuaian ini untuk mencegah jemaah mengalami kelelahan, terutama menjelang pelaksanaan puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Penyesuaian aktivitas ibadah sunah juga bertujuan melindungi jemaah haji terhindar dari sakit atau terkena penyakit yang lebih berat. Apalagi, jemaah yang mempunyai penyakit penyerta (komorbid) harus senantiasa mengontrol penyakitnya.
Kepala Pusat Kesehatan (Puskes) Haji Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Liliek Marhaendro Susilo mengatakan, 76% dari total 241.000 jemaah haji yang berangkat pada 2024 mempunyai komorbid. Karena itu, diperlukan edukasi supaya jemaah haji dapat mengendalikan aktivitas ibadahnya.
“Sekarang ini, dari semuanya (jemaah haji) berangkat, 76 persen memiliki riwayat penyakit. Yang paling banyak, yaitu dislipidemia, kolesterol tinggi. Yang kedua, hipertensi. Ketiga, diabetes melitus, gula darahnya tinggi. Keempat, jantung. Kelima, lambung, gastritis,” kata Liliek di Jakarta, seperti dikutip dari laman resmi Kemenkes, Senin (20/4/2024).
“Keenam, pneumonia. Pneumonia kebanyakan juga dapat timbul di sana karena cuaca panas dan kondisi kelelahan. Makanya, promotif preventif kami galakkan. Di Makkah, ada 11 sektor (region), yang mana tiap sektor terdapat tenaga promosi kesehatan. Mereka diminta fokus mengendalikan aktivitas jemaah tersebut.”
Dengan aktivitas jemaah haji yang terkendali, Liliek berharap, tubuh mereka bugar dan sehat ketika tiba saatnya ibadah Armuzna. “Ini bentuk kami melindungi jemaah haji kita supaya tidak sakit. Kalaupun sakit, jangan sakit yang berat-berat. Jangan sampai mereka kelelahan dan timbul penyakit yang lebih berat dan akhirnya terjadi yang hal yang tidak kita inginkan,” ucapnya.
“Aktivitas ibadah sunah tentu menyesuaikan ya. Yang kami harapkan, jemaah jangan sampai kelelahan pada saat menjelang Armuzna. Harapannya, masa Armuzna itu para jemaah sehat dan bugar,” katanya menambahkan.
Para jemaah haji pun perlu mengetahui batas kemampuannya masing-masing agar tidak sampai kelelahan. Hal ini mengingat jarak antara hotel tempat menginap dan masjid mungkin jauh sehingga membutuhkan waktu untuk berjalan kaki bila tidak ada bus.
“Di sana, aktivitas bisa jadi lebih banyak. Keluar dari lingkungan hotel sendiri, mau ke lobi itu jauh. Dari lobi, akses ke tempat bus, mau ke masjid, misalnya, itu jalan kaki ya, 200, 300, 400 meter, baru naik bus. Kalau tidak ada bus di sana ya jalan kaki, dari hotel menuju masjid bisa 1 kilometer, 2 kilometer,” lanjut Liliek.
“Kalau tiap hari dilakukan di tengah cuaca panas seperti itu, bagi jemaah yang sudah terbiasa gerak, ya, memang tidak masalah, tapi biasanya lelah. Tapi bagi yang tidak pernah gerak, tiba-tiba diforsir seperti itu, bagaimana nanti. Nah, ini yang perlu kita kendalikan. Kami tidak melarang ibadah sunah, tapi tolonglah jaga, supaya jangan sampai kelelahan,” ucap Liliek menambahkan.