Di saat doa-doa diterbangkan
Mimpi-mimpi dilayarkan
Kami hidup berimpitan
Di antara puisi dan slogan-slogan
Adalah kutipan puisi berjudul Suara dari Pengungsian karya Nissa Rengganis dalam buku puisinya yang ketiga. Ya, buku antologi puisi Suara dari Pengungsian dirilis Nissa pada tahun ini, setelah antologi puisi pertamanya Manuskrip Sepi yang terpilih dalam sayembara Hari Puisi Indonesia 2015, dan buku puisi kedua berjudul Obituari Puisi pada 2019 lalu.
“Buku antologi puisi Suara dari Pengungsian adalah upaya untuk merekam tragedi kemanusiaan yang tampak ‘telanjang’ di hadapan kita. Suara-suara itu tak bisa diredam. Semakin kita menghindar, semakin nyaring terdengar,” ungkap Nissa dalam keterangannya, Senin (15/11/2021).
Ada 50 judul puisi dalam Suara dari Pengungsian yang mengajak para pembaca memasuki ruang-ruang gelap para pengungsi. Potret buram nasib para pengungsi di Rohingya, Suriah, Palestina, hingga suara paling sunyi milik tentara anak Sierra Leon yang tengah berperang.
“Buku puisi Suara dari Pengungsian sekaligus ikhtiar kecil penulis untuk mengetuk hati nurani kita sebagai manusia, serta menyuarakan penderitaan yang setiap hari ‘telanjang’ di hadapan kita. Setidaknya untuk diri sendiri,” tutur Nissa.
“Setiap detik, konflik dan bencana alam memaksa seseorang untuk mengungsi di negara mereka sendiri. Pengungsian dipengaruhi oleh banyak hal, dimulai dari persoalan konflik, kekerasan, bencana alam, hingga masalah ekonomi,” tambah Nissa.
Setidaknya, dikatakan Nissa, dalam laporan Pusat Pemantauan Pengungsi Internal (IDMC) dan Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) pada tahun 2020 di berbagai Negara mengalami peningkatan jumlah pengungsi.
Angka tersebut jumlah tertinggi pengungsi baru yang dilaporkan dalam 10 tahun dan menjadikan jumlah total orang yang hidup dalam pengungsian internal di seluruh dunia mencapai 75 juta jiwa.
Diungkapkan Nissa, mengutip laporan dari Kepala NRC Jan Egeland, saat ini pengungsi internal lebih dari dua kali lipat dari sekitar 26 juta jumlah pengungsi lintas perbatasan. Konflik berlarut-larut seperti yang terjadi di Rohingya, Suriah, Afghanistan, Palestina, dan Republik Demokratik Kongo juga terus memaksa banyak orang untuk mengungsi.
“Tak perlu jauh di Negara lain, Indonesia dengan banyaknya bencana dan konflik, mencatat banyaknya pengungsi yang hidup di tenda-tenda darurat. Tsunami di Aceh, gempa di Lombok, Palu, Padang, Yogyakarta, dan banyak tempat lainnya. Para pengungsi terus bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Persoalan ini terus menghantui hati nurani kita,” katanya. (jri)