Siberasi.id – Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Cirebon Raya dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Cirebon menolak revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran.
Penolakan disampaikan perwakilan IJTI Cirebon Raya dan AJI Bandung dalam audiensi bersama ketua Dewan Perwakilan Daerah Rakyat (DPRD) Kabupaten Cirebon di ruang rapat DPRD, Jumat (17/5/2024).
Puluhan jurnalis juga melakukan aksi teatrikal dengan menaburkan bunga di atas tumpukan kartu pers di teras Kantor DPRD Kabupaten Cirebon. Cara ini menggambarkan ancaman kematian pers karena dinilai RUU Penyiaran itu memiliki beberapa pasal yang mengancam kebebasan pers.
Ketua IJTI Cirebon Raya Faisal Nurathman mengatakan, sejumlah organisasi pers menaruh perhatian pada RUU yang telah dibahas oleh Badan Legislasi DPR RI pada 27 Maret 2024 lalu. Karena dalam proses penyusunan, draf RUU tidak melibatkan berbagai pihak.
“Organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers tidak dilibatkan dalam penyusunan itu. Terlihat dari banyaknya penolakan terhadap RUU Penyiaran. Mulai dari IJTI, AJI, hingga Dewan Pers,” ujar Faisal.
Pihaknya juga menolak RUU itu karena mengandung beberapa pasal yang dapat mengancam kebebasan pers. Misalnya Pasal 50 B Ayat 2 huruf C yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Pasal ini dapat menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.
“Mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi. Padahal selama karya itu memegang kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data benar, dibuat secara profesional serta untuk kepentingan publik,” ujarnya.
Selanjutnya ada Pasal 50 B ayat 2 huruf K, lanjut Faisal, terkait penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, serta pencemaran nama baik, juga bersifat multitafsir. Ia menilai, pasal ini bisa menjadi alat untuk membungkam jurnalis atau pers.
Anggota AJI di Cirebon, Abdullah Fikri Ashri menilai, adanya potensi tumpang tindih antara RUU Penyiaran dengan Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers. Seperti pada Pasal 50 B Ayat 2 C yang melarang penayangan karya investigasi, misalnya, bertentangan dengan PAsal 4 Ayat 2 UU Pers.
Pasal tersebut mengatur pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Begitupun dengan Draf RUU Penyiaran Pasal 8 A Ayat 1 yang menyebutkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
“Padahal, itu bertentangan dengan UU Pers Pasal 15 Ayat 2 Huruf C tentang salah satu tugas Dewan Pers. Pasal itu menyebutkan, Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers,” paparnya.
Fikri menambahkan, RUU Penyiaran tidak hanya berdampak kepada komunitas pers, tetapi juga publik. Apalagi, pers merupakan salah satu pilar dalam demokrasi.
“Jika penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi dilarang, sama saja menghalangi hak publik mendapatkan informasi yang benar dan mendalam,” ujarnya.
Di sisi lainnya, lanjut Fikri, UU Penyiaran juga dapat berdampak pada pengguna media digital, seperti influencer yang kritis. “Pemerintah atau pihak tertentu bisa saja mengancam warganet yang menyiarkan konten bermuatan kritik dengan dalih mencemarkan nama baik,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Mohammad Luthfi mendukung petisi penolakan sejumlah jurnalis terkait RUU Penyiaran. Bahkan, Luthfi juga menandatangani petisi penolakan itu dan akan menyampaikan aspirasi jurnalis ke DPR RI.
“Kami mendukung penghapusan pasal yang multitafsir di RUU Penyiaran. Kami juga mendukung independensi media,” ungkapnya.
Berikut pernyataan sikap IJTI Cirebon Raya dan anggota AJI Kota Bandung di Cirebon:
1. Menolak dan mendesak agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut;
2. Meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak, termasuk organisasi jurnalis, Dewan Pers, dan publik;
3. Mengajak semua pihak untuk terlibat aktif dalam mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers dan hak berpendapat warga di berbagai platform.