Siberasi.id – Tatapan itu. Tatapan Nabi yang mulia. Laksana helai-helai kumparan energi surgawi. Tatapan itu menjelma larik-larik nur (cahaya). Nur Muhammad melesat secepat yang Nabi inginkan.
Mengutip dari situs resmi Kemenag RI, Hati yang dicipta untuk mengeja nama sang Nabi sejak azan dan iqamah. Tatapan itu, segera memenuhi bilik-bilik ruhani. Mendahului rasa cemas dan takut. Tatap rindu para pemuja kembara jiwa. Rasa masygul bergelayut di batang-batang ruh.
Kini, berjuta kaki mengayun pelan. Pelan dan berat. Mereka bukan saja pernah mendengar bahwa Nabi dikubur di balik pintu besi itu. Mereka bahkan kini tahu dan membenarkan hal itu, setelah hudur di Tanah Madinah.
Kini tashdiq tumbuh menjadi syuhud. Menyaksikan dengan mata kepala dan mata batin. Meski tatapan Nabi membuat bingkai hati jadi basah, namun rasa malu dan sungkan menyebabkan mereka tak kuasa mengangkat wajah dan kepala.
Sebentar lagi, mereka akan segera tiba di karpet abu-abu. Karpet buruan para peziarah. Karpet yang menunjukkan tempat di mana raudhah berada. Karpet yang menyita pikiran sepanjang hari, sejak mereka dapat panggilan “pasti” ke Tanah Suci.
Perasaan campur aduk. Suka dan duka. Kedukaan mendalam akibat sering bersikap abu-abu. Tidak jelas halal apa haram. Darah mengalir lewat arteri dan daging yang abu-abu. “Rasa-rasanya, darahku darah haram!”
Hanya karena keluasan kasih sayang Rasulullah, semua tamu diperkenankan masuk ke kediaman dan meratap di Raudah. Dengan senyum khas, Nabi menyapa mereka, “Mimbarku ini berada di atas telagaku.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Semua terpana. Suara itu, suara Nabi. Dan mata pun mengatup. Wajah menunduk. Air mata suka cita dan bahagia berebut melompat dari kelopak. Tangan-tangan pun menjura kepada penghulu syafaat; Qurrotu A’yun.
Jatung berhenti berdegup. Rasa rindu terbayar setelah sekian tahun berharap-harap cemas. Saat ini tidak hanya membenarkan tapi merasakan Nabi hadir di hadapan mereka. Nabi duduk bersama orang perorang. Bukan nun jauh di sana. Tapi hadir di hadapan setiap peziarah. Memenuhi ruang batin.
Semua memperoleh waktu dan tempat yang sama untuk tatap muka. Dengan lembut, beliau bertanya kabar kita dan keluarga. Satu persatu. Pertanyaan yang menyertai hingga pulang ke Tanah Air.
Kita menjawab dengan isak dan tangis. Kita sebut dengan terang nama bapak ibu dan bapak ibu mertua kita, kakek nenek kita, guru-guru kita, suami/isteri kita, putera puteri kita, kakak adik kita, kakak adik ipar kita, paman bibi kita, sahabat kita, tetangga kita.
Teman-teman sekolah kita, teman-teman kantor kita, teman-teman bisnis kita, mereka yang kurang suka sama kita, dan semua orang yang mampir dan yang menetap dalam ruang batin kita. Dan Nabi…
Dan Nabi tetap sabar menanti. Hingga semua nama, semua lalai, semua maksiat kita tuntas mengingatnya, Nabi terus sabar hingga lenyap semua yang kita ingat kecuali namanya; “Nabiku Muhammadku.”
Dan nama itu terus jadi dzikir kami sepanjang perjalanan hidup. Nama yang akan kami bawa saat kelak menghadap Allah. Nama yang akan kami jaminkan sebagai penebus dosa yang tidak bisa disucikan kecuali dengan nama suci; Muhammad SAW.
Sabda Nabi menjelaskan, siapa berdoa di tempat mimbar yang mulia itu, maka kelak di hari Kiamat akan mendapat syafaat dan akan minum air dari telaga Nabi. Telaga itu bernama Al Kautsar.
Telaga itu terdapat di taman-taman Nabi. Taman itulah Raudhah. Raudhah di Masjid Nabi adalah bagian dari taman Nabi di akhirat. Raudhah dalam bahasa Arab berarti kebun yang ditanami pohon-pohon indah. Raudhah di Masjid Nabi adalah kebun mulia yang dicintai Allah.
Para jemaah beringsut. Berat berpisah dari Raudhah. Tapi harus berbagi. Di belakang, di halaman, di Tanah Air dan di belahan dunia sana, orang-orang, para pecinta Nabi, menunggu angka antrean untuk bisa sampai di pusara Nabi.
Jarak merentang bulan, tahun bahkan abad ke abad. Saat kaki-kaki berbelok ke arah kiri, senyum Nabi makin dekat. Lambaian jari-jari suci menyebar aroma. Berbaring di kanan kiri beliau, dua Sahabat terkemuka; Abubakar As Siddiq dan Sahabat Umar Al Faruq.
Sambil memeluk dinding, kepala jatuh terkulai. Berharap saat-saat perjumpaan tiada pernah berakhir. Bersama selama-lamanya. “Aku mencium dinding, dinding yang di dalamnya ada sang kekasih,” kata Majnun mengenang Layla.
“Wamaa hubbud diyaar syaghafna qolbi. Walaakin hubbu man sakanad-diyaar, bukan cinta kepada dinding yang membuat hatiku bergetar. Tapi cinta kepada dia yang ada di balik dinding.” Cinta kita kepada Nabi Muhammad, melebihi cinta Majnun kepada Layla!