CIREBON – Komisi III DPRD Kota Cirebon menilai penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di RSUD Gunung Jati sudah sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit.
Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi III DPRD Kota Cirebon Yusuf, saat melakukan pemantauan langsung ke RSUD Gunung Jati pada Senin (6/5/2025). Dalam kunjungan yang berlangsung di ruang Komite Medis rumah sakit tersebut, Yusuf menyatakan apresiasinya terhadap pelaksanaan kebijakan baru itu.
“Alhamdulillah, hari ini kami melihat Perpres tersebut dilaksanakan dengan baik di Rumah Sakit Gunung Jati. Semoga targetnya terus ditingkatkan, tidak hanya karena KRIS, tetapi juga mewujudkan rumah sakit yang unggul dan mendukung program Hospital Tourism rumah sakit berbasis pariwisata,” ujarnya.
Yusuf menyoroti salah satu perubahan signifikan dalam penerapan KRIS, yaitu pengurangan jumlah pasien dalam satu kamar sebagai upaya meningkatkan kenyamanan dan kualitas layanan.
“Dulu satu kamar bisa diisi enam pasien, sekarang hanya empat pasien. Ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas layanan,” katanya.
Direktur RSUD Gunung Jati, Katibi menjelaskan penerapan KRIS mengacu pada pemenuhan 12 komponen layanan dasar. Komponen tersebut mencakup standar bahan bangunan, ventilasi, pencahayaan, hingga tersedianya outlet oksigen di setiap ruangan.
“KRIS memastikan bahwa seluruh pasien, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta, mendapatkan layanan yang setara secara infrastruktur,” jelasnya.
Ia menambahkan, seluruh peserta BPJS, dari kelas 1 hingga kelas 3, kini mendapat layanan dengan standar yang sama sesuai kebijakan KRIS.
Meski implementasi KRIS berjalan baik, Yusuf menyoroti adanya lonjakan beban layanan akibat program Universal Health Coverage (UHC). Menurutnya, kondisi ini memunculkan ketimpangan antara jumlah warga yang dibiayai dan tagihan yang dibebankan pada APBD Kota Cirebon.
“APBD kita hanya menanggung sekitar 77.800 warga, tapi tagihan BPJS menembus 79.000 jiwa. Ini menunjukkan ada ketidakseimbangan,” ungkapnya.
Yusuf menduga sebagian pasien yang menggunakan layanan BPJS di Kota Cirebon berasal dari luar daerah. Namun, tagihannya tetap dibebankan kepada Pemerintah Kota Cirebon.
“Ada warga dari luar Kota Cirebon yang mendapatkan layanan BPJS di sini. Ini menjadi ganjil karena tagihan akhirnya dibebankan ke Kota Cirebon, bukan ke daerah asal pasien,” ujarnya.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Komisi III DPRD Kota Cirebon berencana menjalin komunikasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota lainnya guna membahas skema tanggung jawab pembiayaan antarwilayah.
“Kami ingin ada kejelasan ke depan. Apakah kita diberi ruang untuk koordinasi lintas wilayah, atau seperti apa. Yang pasti, kami akan teruskan ini ke pimpinan sebagai bahan untuk ditindaklanjuti,” tegas Yusuf.